Kamis, 01 Desember 2016

BACK TO DECEMBER




Back To December


Desember, saat terakhir aku memandang kilat di matamu. Kala terakhir aku menatap canggung di wajahmu. Desember, ujung waktu kita bertemu. Desember dua tahun lalu. 

Ingat saat Desember tahun kemarin aku menulis cerita tentangmu. Tentang Desember dan rintik hujan yang selalu mengingatkanku padamu. Ah, pada kenangan kita. Aku selalu merindukannya sesekali. Meski terkadang aku merasa berdosa jika merindukannya. 

Dua tahun berlalu, dua tahun itu pula aku tak pernah tahu bagaimana rupamu. Bahkan mungkin aku nyaris melupakan wajah tampanmu. Desember tahun 2014 hari itu benar-benar waktu terakhir untuk kita bertatap muka. Tak selang berapa lama, aku mendapat kabar kamu akan ke pelaminan. Nyaris tak percaya, aku ikut senang.

"Kita harus bertemu lagi nanti."

"Tentu. Mungkin setelah aku menikah, dan kamu punya anak." Candaku

Dialog terakhir yang kita utarakan lewat pesan sms sebelum kamu berdiri berdampingan dengan calon istrimu. Hari itu aku tidak datang. Bukan karena merasa seperti ditinggal menikah oleh mantan pacar, hanya saja aku hanya sanggup tertawa saat mengetahui semuanya. Kita yang katanya memiliki perasaan serupa, kita yang katanya saling suka, kita yang katanya tak bisa bersatu walau saling mencinta. Benar saja, kamu melarikan diri ke pelaminan, sedangkan aku? Aku menunggu waktu untuk berlari menyusulmu. Maksudku, aku menikah dengan jodohku sendiri nanti. Aku berharap kamu sangat bahagia. Dan kamu layak bahagia dengan seseorang yang lebih baik dariku. 

Sejak saat itu kita sungguh kehilangan hubungan. Kamu bahagia menaiki bahtera rumah tangga. Aku? Aku menata hatiku untuk orang baru. Sialnya, hatiku kembali ambruk saat akan memuncaki keyakinan bahwa telah ada seseorang yang lebih baik menggantikanmu. Nyatanya, seseorang itu tidak lebih baik darimu. Aku justru membandingkan dia dengan kamu. Cara dia memahami perasaanku, cara dia menyatakan cinta padaku, cara dia pergi dariku. Haha, tak ada yang lebih baik saat hati dipatahkan. 

Kini, Desember datang lagi. Desember, hari-hari di mana aku mengenangmu lagi. Mengenang kebersamaan kita yang selalu membuatku tertawa saat mengingatnya. Konyol, satu kata yang terlintas saat kembali memikirkan tentang kita. Kita yang tak pernah menjadi "kita". 

Aku hanya sering mendengar kabarmu lewat angin yang mendesah. Terkadang ada yang berbisik bahwa di sana kamu ditempatkan dalam keluarga bahagia. Aku selalu gembira dan lega mendengarnya. Semoga selamanya. Doaku untukmu tak pernah berubah. Kamu mendapatkan kebahagiaan yang seharusnya kamu dapatkan. Bahkan aku mendengar kini kamu telah memiliki seorang putra. Lengkap sudah kebahagiaanmu. Bahagiamu, bahagiaku, barangkali untuk saat-saat tertentu kalimat itu berlaku.

"Hey, apa kabar?"

Aku nyaris terlonjak saat namamu ada dalam daftar pesanku. Kamu masih mengingatku? Sudah dua tahun berlalu sejak Desember waktu itu.

"Baik. Bagaimana denganmu? Ah, yang sudah menjadi ayah, selamat!"

"Terima kasih. Kapan kamu menikah?"

Aku tertawa geli. Andai saja aku tahu jawabannya. 
"Doakan saja!" Pintaku 

"Tentu. Emm... aku rindu. Ketemu yuk!"

Mataku terbelalak. Bertemu? Jujur, aku pun rindu. Namun akan canggung rasanya memikirkan bila kita kembali bertatap muka. Apalagi jika melihat seringaian di wajahmu yang membuat para wanita terpesona. Akan gawat! Bukan mustahil perasaan yang lama telah terkubur akan bangkit kembali.

"Kamu berkunjung saja ke rumahku. Bawa serta anak dan istrimu. Aku ingin melihatnya. Kenalkan mereka padaku."

"Ah, repot kalau harus membawa anak. Kamu saja yang ke rumahku."

"Baiklah, kapan-kapan aku akan berkunjung."

Sebuah senyuman lebar mengakhiri dialog pesan kala itu. Aku tak mengira bila kamu masih mengingatku. Aku tak menduga kalau kamu akan menyapaku. Setelah sekian lama kita tak saling bertegur sapa atau semacamnya. Aku hanya berpikir hubungan kita memang sudah lama berakhir. Hubungan pertemanan ataupun sebuah hubungan yang pernah melibatkan perasaan.

Sebaliknya, kamu berani menegurku bahkan mengajak bertemu. Hey, aku sangat senang. Ternyata kamu masih dapat mengingatku. Kamu masih menganggapku seseorang yang pernah hadir dalam hidupmu, walau hanya sebagai sahabat. 

Baik-baik di kejauhan sana, Dear. Dapatkan kebahagiaan kamu yang pernah hilang. Aku senantiasa mendoakan dan mengenangmu di sini. Mengingatmu sebagai seseorang yang pernah memberi kenangan indah dalam hidupku. Di setiap hari yang terdaftar dari senin sampai minggu. Di setiap bulan yang berjejer dari Januari hingga Desember. I still remember you. Walau tahun akan berganti lagi dan lagi.  


                                                 ***