Minggu, 27 Maret 2016

KERTAS IMPIAN (CERPEN)



Kertas Impian


"Kapan menikah?"

"Kapan menyusul? Mana pasanganmu?"

"Cepat nikah dan punya anak. Lihat! Seru loh ngurus bayi. Berasa ada mainan." 

Seutas senyum beserta tambahan kalimat 'doakan saja' adalah jurus paling mumpuni untuk menjawab celotehan mereka. Rasanya hampir bosan harus selalu memakai jurus yang kelihatannya pasrah seperti itu. Tapi aku mesti bagaimana lagi?

Seringkali pertanyaan yang sebenarnya masih bisa dibilang 'wajar' tersebut menohok pikiranku. Memang usiaku belum seberapa tua. Namun entah kenapa ketika seorang gadis menginjak usia dewasa sedikit, mereka harus dihadapkan dengan masalah pernikahan. Terlebih nyaris semua temanku sudah menikah bahkan sebagian sudah memiliki momongan.  

"Aku bukan tak ingin menikah. Tapi bila Tuhan belum berkehendak, aku bisa apa? Nanti pun waktunya akan tiba." 

Jawabku di suatu waktu ketika salah satu temanku bertanya mengenai  statusku yang masih betah menyendiri. 

"Tapi setidaknya kamu sudah harus memiliki pasangan untuk diajak ke pelaminan." 

Lagi, aku mengandalkan bibirku untuk membalas pernyataannya. 

"Aku sedang berusaha." Jawabku pendek. 

Jujur, memang terkadang rasa iri menggelayut saat aku melihat mereka yang sudah berbahagia dengan seseorang di sampingnya. Bahkan saat melihat mereka; temanku dan suaminya menggendong bayi mungil nan lucu, batinku seolah terenyuh dan berteriak 'Adakah kesempatan untukku berbahagia seperti mereka dengan keluarga kecilnya?' Entahlah. Sampai hari ini aku masih harus menerima kenyataan bahwa Tuhan belum meridhoiku untuk menemukan seorang belahan jiwa. Aku masih harus bekerja keras sendirian. Aku masih harus menghadapi masalah-masalahku seorang diri. Aku masih harus bersabar dalam sebuah penantian yang entah mesti berapa lama lagi aku lalui. 

Jika diingat, yang berusaha mendekatiku tidaklah sedikit. Aku pun selalu berusaha membuka hati untuk menerima kehadiran mereka dalam perjalanan hidupku. Barangkali saja salah satu dari mereka adalah jodohku. Tapi lagi-lagi aku harus menelan kecewa. Aku tak sering melihat keseriusan dari mereka. Rata-rata mereka berjinjit kabur setelah aku ajak berbincang mengenai pernikahan. 

"Kak, mau balon? Lima ribu saja." 

Aku terhenyak dari lamunan saat balon warna-warni terpampang di depan wajah mumetku. Bocah kecil berkisar usia sepuluh tahun sedang menawarkannya padaku.

"Ayolah, Kak! Beli satu saja! Sejak tadi balonku belum ada yang terjual."

Aku menyerengit. Kasihan juga anak ini. Wajah merahnya mengumumkan rasa lelah. Siang hari yang bergejolak seperti ini harus berjualan di taman kota yang sesak dengan hiruk pikuk manusia. Tapi aku tak memerlukan balon. Usia 22 sepertiku sudah terlihat tidak pantas bermain-main dengan benda lonjong itu. 

"Dengan balon ini Kakak bisa mengirim surat ke Tuhan." Celetuknya. 

"Nih, ya!" 

Bocah lelaki itu mengeluarkan buku dari tas selempangnya lalu kemudian menulis pada salah satu halaman buku tersebut. Setelah itu ia menyobeknya lantas melipat kertas yang sudah ternoda aksara itu menjadi kecil. Ia mengikat lipatan kertas yang digenggamnya pada ujung tali salah satu balon di tangannya. 

"Nah, sebentar lagi pasti surat itu sampai ke Tuhan!" 

Bola mataku melayang mengikuti laju balon yang dilepaskan ke udara oleh bocah cilik di hadapanku. Ia berlenggok gemulai membuntuti arah angin yang cukup kencang siang hari ini. Menarik juga, pikirku.

"Bagaimana? Kakak mau beli balonku, kan?" 

Aku memandang wajahnya yang tampak memelas. Baiklah, cara dia merayu pembeli kreatif sekali. Aku pun menyodorkan uang untuk membeli balonnya. Satu saja cukup.

"Rahasia!" Sahutnya saat aku bertanya apa yang ia tulis dalam surat yang diterbangkannya tadi. 

"Coba saja, Kak! Pasti Tuhan akan mengabulkan permintaan Kakak juga! Dah ..."

Aku tersenyum memandang senyum lincahnya setelah mendapat uang dari hasil penjualan balonnya padaku. Terlebih saat dia mengerlingkan matanya mengingatkanku agar tidak lupa untuk membuat permohonan. Bahkan ia memberi selembar kertas dan sebuah pensil secara cuma-cuma. 

Sekali lagi aku menerawang langit mencoba mengawasi balon milik bocah kecil tadi yang entah sudah berlari kemana. Terlihat konyol. Apa benar balon itu akan mengirimkan pesan yang dia tulis pada Tuhan? Bagi anak kecil, hal bodoh semacam itu sangat berarti dan menyenangkan.  Boleh juga aku mencobanya. Meski tak mengirim surat pun Tuhan sudah tahu apa yang kita inginkan. 

Surat untuk si Dia

Wahai kamu seseorang yang nantinya akan menemani kesendirianku, melangkahlah! Temui aku dengan dentuman hati serta pijakan kaki yang tulus. Aku di sini senantiasa bersabar menanti derap langkahmu untuk menjemputku.
Duhai kamu seseorang yang suatu saat akan mengusap air mata bahagia dan sedihku. Jemput aku dengan tangan dan lengan terbukamu. Aku di sini telah siap menunggu pelukmu untuk mengajakku berjalan bersama mendekap tawa bahagia dari sang Esa. 
Karenamu aku rela menunggu di bawah naungan doa selepas sujud malamku. Semoga Tuhan segera mempersatukan kita seusai lelah yang kita jalani dengan penuh haru dan rindu.

Untukmu, calon pendamping hidupku.



Aku terkikik geli di tengah kesendirianku. Jangan tanya padaku untuk siapa aku menulisnya, aku belum tahu namanya. Apa yang aku tulis pada selembar kertas pemberian bocah tadi, semoga saja balon itu membawanya berlabuh ke tempat seharusnya. Semoga Tuhan mendengar dan mengabulkan permohonanku sesegera mungkin. Demi calon Takdirku, aku akan selalu berusaha memperbaiki diri di sela penantian yang ingin segera ku akhiri ini. Semoga ia di sana pun sama. 

Aku memandang langit biru yang berhiaskan kapas-kapas putih bernama awan. Atap bumi sangat luas. Semoga saja hatiku bisa seluas dan semegah langit untuk ikhlas dan bersabar dalam menanti jodoh yang telah Tuhan takdirkan. Biarlah dia, teman, mereka, atau siapa pun yang    mengejek kesendirianku puas menikmati celotehannya. Karena dalam diamku aku tak berhenti mengutarakan doa kepada sang pencipta agar kelak ia memberi yang terbaik untukku.

****
  

Rabu, 23 Maret 2016

LEKAS SEMBUHKAN HATI!




Ditengah senja terhampar
Ku genggam cinta yang luar biasa
Angin pun pasti mendengar
Janji kita ntuk selalu bersama

Mengapa kini kau pergi
Meninggalkan aku
Hancurlah aku

Separuh roh hatiku pergi
Meninggalkan cinta ini
Ini terlalu perih

Ingatkah kita disini
Berjanji menggenggam hati
Here're time Magic Hours

Raga mu tak lagi ada
Tapi tidak dengan cerita kita
Atas nama janji kita
Ku lanjutkan walau kita terpisah

Mengapa kini kau pergi
Meninggalkan aku
Hancurlah aku

Separuh roh hatiku pergi
Meninggalkan cinta ini
Ini terlalu perih

Ingatkah kita disini
Berjanji menggenggam hati
Here're time Magic Hours

Here're time

                                            ***
Saat dia pergi, saat dia lari, saatnya kita menyelami diri untuk menata hati kembali. Ketika kita sendiri, waktunya kita merenungi semua yang telah terjadi. Biarkan detik membawamu merapikan hati yang tidak utuh lagi.

Bagian mana yang tidak kamu pahami dari patah hati? Saat dia enggan menoleh lagi? Saat kamu merasakan sakit yang tidak dapat dipungkiri? Percayalah, itu semua hanya taktik Tuhan untuk memberimu pembelajaran. Semua selalu ada hikmahnya, bukan?

Saat menulis ini aku tersenyum sendiri. Bukan karena telah berhasil melupakan patah hati yang aku alami. Tidak, aku tidak berkata demikian. Bahkan sampai detik ini bayangan orang-orang yang pernah membuatku merasa kehilangan belum enyah. Aku hanya ingin tertawa. Mencibir diri sendiri yang begitu bodohnya. Tidak mau keluar, justru memilih bertahan. Untuk kesekian kalinya aku memilih mempertahankan luka yang aku terima. Aku sadar, aku begitu bodoh.

Detik demi detik aku lalui dengan berat hati. Siang, malam, aku isi dengan kegalauan hati. Ck! Tidak ada gunanya sama sekali. Namun, hari ini aku mendapati sederet kata yang aku yakini inilah obat patah hati. Intropeksi diri! Muhasabah diri!

Jangan bertanya kenapa dia pergi. Tidak usah memohon agar dia kembali. Tengok diri sendiri, betapa banyaknya kekurangan yang kita miliki. Perbaiki diri dan lekas sembuhkan hati! Niscaya Tuhan akan membimbingmu ke tempat orang yang lebih baik daripada dia yang lari.

Biar saja cinta pergi sekali ini
Biar saja nanti pun datang lagi

Selasa, 22 Maret 2016

TAK HANYA SENJA

Tidak hanya senja yang berwarna jingga
Ada pelangi, purnama juga

Senja, salah satu hiasan langit yang Tuhan ciptakan dengan luar biasa mempesona. Senja, waktu di mana keajaiban Tuhan tercipta seluruhnya. Aku memyukainya, bahkan sangat menyukainya. Lembayung yang menggantung di ufuk sore. Jingga yang menjelma kala petang tiba. Tidak ada kata bosan untuk memandanginya berlama-lama. Meski aku tahu, senja tidak selalu menjanjikan keindahan saat kemunculannya tiba. 

Bukan hanya senja yang aku suka. Ada awan yang bergumpal dan menghampar di tengah langit sore yang membentang. Tentu kalian tahu, betapa indahnya jika sore hari begitu cerah. Rasanya semua penat lenyap begitu saja kala mata menerawang menikmatinya.

Catatan kecil ini bukan hanya akan aku coret dengan cerita-cerita tentang senja yang luar biasa. Namun pula gumpalan awan yang sangat menggoda.

Sesungguhnya masih banyak pemandangan semesta lainnya selain kedua lukisan yang sangat aku suka. Bila kalian bersedia untuk mengawasi langit sebentar saja, kalian akan menyadari betapa Tuhan amat luar biasa baik telah memberi kita mata untuk melihat dunia. 

Semoga kita seperti langit semesta, memiliki hati yang begitu lapang dan luas, serta mempunyai banyak keindahaan yang dapat dinikmati oleh semua orang.

Terima kasih telah membaca
Semoga kalian suka

Salam kenal :)