Kamis, 01 Desember 2016

BACK TO DECEMBER




Back To December


Desember, saat terakhir aku memandang kilat di matamu. Kala terakhir aku menatap canggung di wajahmu. Desember, ujung waktu kita bertemu. Desember dua tahun lalu. 

Ingat saat Desember tahun kemarin aku menulis cerita tentangmu. Tentang Desember dan rintik hujan yang selalu mengingatkanku padamu. Ah, pada kenangan kita. Aku selalu merindukannya sesekali. Meski terkadang aku merasa berdosa jika merindukannya. 

Dua tahun berlalu, dua tahun itu pula aku tak pernah tahu bagaimana rupamu. Bahkan mungkin aku nyaris melupakan wajah tampanmu. Desember tahun 2014 hari itu benar-benar waktu terakhir untuk kita bertatap muka. Tak selang berapa lama, aku mendapat kabar kamu akan ke pelaminan. Nyaris tak percaya, aku ikut senang.

"Kita harus bertemu lagi nanti."

"Tentu. Mungkin setelah aku menikah, dan kamu punya anak." Candaku

Dialog terakhir yang kita utarakan lewat pesan sms sebelum kamu berdiri berdampingan dengan calon istrimu. Hari itu aku tidak datang. Bukan karena merasa seperti ditinggal menikah oleh mantan pacar, hanya saja aku hanya sanggup tertawa saat mengetahui semuanya. Kita yang katanya memiliki perasaan serupa, kita yang katanya saling suka, kita yang katanya tak bisa bersatu walau saling mencinta. Benar saja, kamu melarikan diri ke pelaminan, sedangkan aku? Aku menunggu waktu untuk berlari menyusulmu. Maksudku, aku menikah dengan jodohku sendiri nanti. Aku berharap kamu sangat bahagia. Dan kamu layak bahagia dengan seseorang yang lebih baik dariku. 

Sejak saat itu kita sungguh kehilangan hubungan. Kamu bahagia menaiki bahtera rumah tangga. Aku? Aku menata hatiku untuk orang baru. Sialnya, hatiku kembali ambruk saat akan memuncaki keyakinan bahwa telah ada seseorang yang lebih baik menggantikanmu. Nyatanya, seseorang itu tidak lebih baik darimu. Aku justru membandingkan dia dengan kamu. Cara dia memahami perasaanku, cara dia menyatakan cinta padaku, cara dia pergi dariku. Haha, tak ada yang lebih baik saat hati dipatahkan. 

Kini, Desember datang lagi. Desember, hari-hari di mana aku mengenangmu lagi. Mengenang kebersamaan kita yang selalu membuatku tertawa saat mengingatnya. Konyol, satu kata yang terlintas saat kembali memikirkan tentang kita. Kita yang tak pernah menjadi "kita". 

Aku hanya sering mendengar kabarmu lewat angin yang mendesah. Terkadang ada yang berbisik bahwa di sana kamu ditempatkan dalam keluarga bahagia. Aku selalu gembira dan lega mendengarnya. Semoga selamanya. Doaku untukmu tak pernah berubah. Kamu mendapatkan kebahagiaan yang seharusnya kamu dapatkan. Bahkan aku mendengar kini kamu telah memiliki seorang putra. Lengkap sudah kebahagiaanmu. Bahagiamu, bahagiaku, barangkali untuk saat-saat tertentu kalimat itu berlaku.

"Hey, apa kabar?"

Aku nyaris terlonjak saat namamu ada dalam daftar pesanku. Kamu masih mengingatku? Sudah dua tahun berlalu sejak Desember waktu itu.

"Baik. Bagaimana denganmu? Ah, yang sudah menjadi ayah, selamat!"

"Terima kasih. Kapan kamu menikah?"

Aku tertawa geli. Andai saja aku tahu jawabannya. 
"Doakan saja!" Pintaku 

"Tentu. Emm... aku rindu. Ketemu yuk!"

Mataku terbelalak. Bertemu? Jujur, aku pun rindu. Namun akan canggung rasanya memikirkan bila kita kembali bertatap muka. Apalagi jika melihat seringaian di wajahmu yang membuat para wanita terpesona. Akan gawat! Bukan mustahil perasaan yang lama telah terkubur akan bangkit kembali.

"Kamu berkunjung saja ke rumahku. Bawa serta anak dan istrimu. Aku ingin melihatnya. Kenalkan mereka padaku."

"Ah, repot kalau harus membawa anak. Kamu saja yang ke rumahku."

"Baiklah, kapan-kapan aku akan berkunjung."

Sebuah senyuman lebar mengakhiri dialog pesan kala itu. Aku tak mengira bila kamu masih mengingatku. Aku tak menduga kalau kamu akan menyapaku. Setelah sekian lama kita tak saling bertegur sapa atau semacamnya. Aku hanya berpikir hubungan kita memang sudah lama berakhir. Hubungan pertemanan ataupun sebuah hubungan yang pernah melibatkan perasaan.

Sebaliknya, kamu berani menegurku bahkan mengajak bertemu. Hey, aku sangat senang. Ternyata kamu masih dapat mengingatku. Kamu masih menganggapku seseorang yang pernah hadir dalam hidupmu, walau hanya sebagai sahabat. 

Baik-baik di kejauhan sana, Dear. Dapatkan kebahagiaan kamu yang pernah hilang. Aku senantiasa mendoakan dan mengenangmu di sini. Mengingatmu sebagai seseorang yang pernah memberi kenangan indah dalam hidupku. Di setiap hari yang terdaftar dari senin sampai minggu. Di setiap bulan yang berjejer dari Januari hingga Desember. I still remember you. Walau tahun akan berganti lagi dan lagi.  


                                                 ***




Jumat, 14 Oktober 2016

BAYANGMU DI KALBU !




BAYANGMU DI KALBU

Saat sayup menyeruak gendang telinga
Pedang elang menghunus merajam raga
Kala kilat pelangi menyambar tak berdaya
Tak elak sepercik rasa hadir menjelma

Aku tak sadar akan apa yang aku kerjakan
Menikmati buaian angin malam dengan bimbang
Terlena jam dinding yang terus berputar
Mengabaikan bintang yang menggantungkan sinar

Kupandangi langit-langit kamar
Di sana terlukis wajahmu tanpa samar
Aku termangu, berbicara pada kalbu
Mungkinkah ku jatuh hati padamu?

Ah, aku resah
Tak seharusnya rasa ini kujamah
Aku bersumpah,
Tiada pernah aku merasakan cinta merekah

Hingga aku menemukanmu
Bak melodi di antara ribuan nada
Tahukah? 
Musik bagi hatiku ialah kamu

Tiba saat kejora menghilang
Jemariku berlenggok mencoret tulisan
Jika saja kau bertanya kenapa aku
Aku seorang yang terusik bayangmu

Sayang, wujudku tak sejelas auramu
Aku hanya makhluk kosong yang tak berani menampakkan diri sebagai pemujamu!

Okt, 2016

Minggu, 02 Oktober 2016

SINOPSIS NOVEL "VIOLA" (karena bahagia adalah keharusan)



Judul: VIOLA
Penulis: Syarifatul Munawaroh
Penerbit: Story Club Media
Harga: Rp.59.000 (belum ongkir


Alhamdulillah... saya dapat menyelesaikan karya kedua saya dengan baik. Dan alhamdulillah dapat tersedia dalam bentuk cetak. Buku ini saya tulis dengan berbagai macam khayalan dan perasaan. Terima kasih untuk nama-nama tokoh yang tercantum, nama mereka saya ambil dari nama-nama orang yang saya kagumi. Terima kasih kepada kalian yang telah memberi saya semangat untuk menyelesaikan naskah ini.

Terima kasih kepada Story Club Media atas bantuan dan kerja kerasnya. Saya sangat menyukai covernya. Hehe terlebih cover belakang yang memperlihatkan bayangan 4 pria yang menjadi tokoh dalam cerita.

Saya sangat berterima kasih kepada semuanya yang sudah mendukung dan membaca karya saya. Semoga akan ada karya saya yang ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya. :)


***

Sinopsis VIOLA:


Saat Viola ditinggal bunda dan kekasih tercinta, pria tengil bernama Alam yang menemaninya. Waktu Lily adiknya bersikeras ingin meninggalkan rumah, Alam jua yang meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Kehadiran Alam, sahabat semenjak kecilnya itu ternyata begitu sangat berarti di saat Viola merasa kehilangan. Sayangnya, kehadiran Lucaz yang bernasib sama seperti dirinya membuatnya bimbang. Lucaz meminta untuk bersama meraih kebahagiaan mereka yang telah hilang. Di saat yang sama, Harrimand, mantan kekasihnya, menambah besar beban dilemanya ketika lelaki itu menawarkan cinta kembali kepadanya. Viola bingung, siapakah yang harus dipilihnya? Dalam kebingungan akan perasaannya, kakak tampan pemilik kedai seberang kios bunganya berkata, 'cinta bukanlah pilihan, melainkan keputusan'. Dan pada akhirnya Viola pun berani memutuskan siapa yang akan menemani sisa hidupnya dengan penuh kebahagiaan.
.
.
.
Minat? Inbox via Fb Story Club or fb Syarifatul Munawaroh or via WA 087742496393
.
.
Batas PO 9 oktober 2016

Sabtu, 06 Agustus 2016

I can't stop loving you!




I can't stop loving you!

Bilapun hati ini sunyi
Aku tak akan bersembunyi
Andaipun raga ini sendiri
Aku tetap akan berdiri

Layaknya purnama yang menggiring fajar
Ia tak ragu melewati  gelap malam
Seperti gulungan awan kala siang
Ia tak pantang memunggungi sinar

Bukan maksudku untuk bertahan
Atau gila akan perhatian
Hanya sekadar ingin menunjukkan
Hati ini bukan sekadar menginginkan

Bukan tentang rasa kagum terhadapmu
Bukan hanya karena menyukaimu
Melainkan, 
karena tak dapat berhenti mencintaimu

Yeah,
Cause i can't stop loving you!







Kamis, 26 Mei 2016

SENJA KEDUA (SENJAKU TAK PERNAH MENIPU)



Kata orang, keindahan senja itu menipu. Bagiku, senja tidak pernah mengelabui. Senja tetap sebuah keelokan semesta yang tidak dapat aku jabarkan bagaimana luar biasa warna jingganya terlukis di langit. Senja tetaplah senja, yang gambarannya menawan, yang pesonanya tak bisa diabaikan.

Aku kembali tersenyum mengamati langit sore. Sudah lama aku tidak memerhatikan senja dengan seksama. Semenjak hari di mana dia pergi membawa separuh hati, aku tidak ingin melihat senja lagi. Aku tidak mau menatap jingga saat lembayung tiba. Saat itu, setiap kali aku memandang langit barat kala petang, rasa sakit menyerang. Aku marah, bagaimana bisa senja membuatku tak berdaya? Namun tidak dengan hari ini, aku merindukannya. Merindukan detik-detik senja memancarkan aura. 

Aku sedang tidak membicarakan orang yang sama. Bukan dia, tapi dia. Dia, yang hadir kala senja menampakkan diri menggiring malam. Bukan dia, yang sudah tak ingin aku ingat sama sekali. Lantas, kenapa saat ini aku seolah menyangkut-pautkan dengan dia yang dulu? Tidak! Aku hanya tidak ingin orang-orang salah paham. Sampai kapan pun, aku tetap menyukai senja. Senja, waktu di mana semua rasa lelahku lenyap di sana. 

Entah sejak kapan aku terpesona. Entah sejak kapan aku mulai tertarik dan penasaran. Senja kembali menawarkan cintanya melalui adam yang berbeda. Aku harap, dia lebih baik, lebih menarik, dan lebih pantas untuk aku agungkan. Secercah harapan dalam hati kecilku hanya sesederhana demikian.

Tidak ada yang salah dari senja. Dia selalu memberiku banyak  harapan. Mungkin terlalu dini bila kini aku menyebutnya sebagai cinta. Namun tidak dapat dipungkuri, aku sungguh tergila-gila. Senja, apa mungkin aku kembali jatuh cinta?

Cinta? Rasanya aku hampir muak mendengarnya. Pasalnya, cinta seakan tak pernah berpihak kepadaku.  Berulang kali jatuh cinta, aku hanya mendapat jatuhnya saja, tanpa cinta. Dengan kata lain, aku seringkali merasakan sakit dalam menggapai cinta itu sendiri. Entahlah, mungkin ada yang salah pada diriku. Terkadang aku takut untuk jatuh cinta lagi. Aku khawatir, ‘cinta’ itu tak akan kudapat lagi. Namun orang bilang, cinta sejati akan tetap datang kepada orang yang masih percaya, sekalipun sering kecewa. Saat ini aku hanya meyakini bahwa cinta tidak akan selalu berakhir menyakitkan. Ada saatnya cinta menumbuhkan kebahagiaan.

Lembayung benderang terang menggambar langit, adalah saat-saat di mana jantungku berdebar dua kali lipat. Detik di mana darahku berdesir cepat. Kala petang menjelang, waktu senja menarik jingga, saat itulah dia muncul dengan kerlingan. Lagi-lagi aku menari di bawah cahaya jingga yang merona. Entah kenapa Tuhan selalu menghadirkan cinta untukku di kala senja. Aku hanya berpikir bahwa Tuhan ingin mengingatkanku bahwa keindahan senja memang nyata. Dia tidak pernah menipu!

"Bang! Bakwannya!"

Sungguh, awalnya aku berpikir ini gila. Orang-orang akan tertawa bila aku mengaku bahwa aku menyukai pria di depanku. Tapi sepertinya, hatiku tidak mau peduli. Tidak ada yang aneh padanya. Bahkan dia memiliki wajah yang rupawan. Aku benar-benar tidak ingin peduli siapa dirinya. Yang aku yakini, dia seorang yang pekerja keras. Bahkan dia tidak malu mendorong gerobak kayu setiap hari di sepanjang jalan raya. Aku mengaguminya, serius! Hingga aku tak mengapa bila seandainya Tuhan menjodohkanku dengannya. Aku akan sangat senang.

Namun, tunggu! Aku selalu terlihat bodoh di depannya. Deretan kata serta kalimat yang sudah aku persiapkan seringkali menguap begitu saja. Aku tidak berani menyapanya lebih dari sebatas pedagang dan pembeli. Aku harus meradang dalam hati setiap kali aku gagal melebur keingintahuanku tentangnya. Seolah debar jantungku mempermainkan diriku sendiri.

“Serius kamu suka sama dia?”

“Kenapa? Ada yang salah?”

“Open your eyes! Kamu beneran suka sama dia? Seorang …”

“Tukang bakwan keliling?”

Aku tersenyum simpul menyaksikan mimik wajah orang di sampingku. Temanku yang beberapa hari ini amat sangat bawel dalam mengomentari kehidupanku. Oh, tepatnya perasaanku. 

Dia benar, aku memang sedang menyukai seseorang. Tapi sepertinya kali ini agak berbeda. Kalau menurut temanku, aku salah melepas anak panah. Namun menurutku tidak ada yang salah. Aku tetap menyukai seorang manusia berspesies cowok. So? Kita tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta. Itu kehendak hati.

“Please, kamu gak mungkin serius naksir sama tukang bakwan, kan?”

Lagi, temanku memasang tampang ngeri. Ekspresi wajahnya seperti baru melihat pocong lewat di depannya. Antara geli, takut, sama jijik. Hahaha, aku terbahak tak peduli. Dia terlalu cerewet. 

“Sepuluh rius! Sudah jangan bawel! Kalau kamu sudah lihat orangnya, pasti kamu juga naksir.”

“Aku? Naksir tukang bakwan? Jatuh harga diriku! Kayak gak ada cowok lain saja.”

Aku menggeleng tak acuh. Bagiku tetap tidak ada yang salah. Aku hanya sedang merasakan anugerah Tuhan melalui perasaan kagumku terhadapnya. Terkadang jatuh cinta memang membutakan segalanya, bukan? Toh pada akhirnya cinta akan kembali kepada kodrat sebenarnya, yaitu rasa. Bukan status ataupun harta.



Cinta,
Ketika hatimu berkata ada yang beda
Perasaan yang tak biasa, yang lebih istimewa
Tak peduli siapa dia
Karena dia yang membuatmu bahagia

Senja di jalan raya
Senjaku yang kedua

Selasa, 10 Mei 2016

BROKEN (Tentang hati yang patah karena seorang ayah)





Entah aku harus menyebutnya sebagai cobaan atau kutukan. Bagiku, ini adalah sebuah kesialan yang tak kunjung usai. Hidupku tidak selalu baik-baik saja, aku rasa. Selesai masalah ini, timbul lagi masalah yang lain. Semua berputar seperti siklus rantai makanan. Namun tidak berujung menguntungkan. Aku hanya merasa aku memang sial telah dilahirkan ke dunia ini. Penderitaan yang aku alami, rasa sakit yang aku terima, aku tidak tahu harus menyalahkan siapa atas ketidaknormalan yang terjadi. Aku selalu merasa aku tidak seperti yang lain. Mereka selalu tampak senang, mereka selalu terlihat banyak uang. Tapi aku? Aku selalu berusaha menjadi anak baik, aku yang telah bekerja keras demi sesuap nasi, justru berbagai masalah muncul bertubi-tubi. Aku rasa aku memang pantas bila menyebutkan bahwa Tuhan tidak adil kepadaku. Tuhan tidak menyayangiku!

"Elo sekolah gak? Begitu saja tidak becus!"

Tanganku sudah lelah karena sering mengepal namun tidak melayangkan jotosan. Lihat! Siapa yang berbicara seperti itu padaku? Orang yang seharusnya aku banggakan, orang yang seharusnya aku jadikan panutan, kini aku membencinya. Dia tidak sadar, dia benar-benar tidak sadar. Apa dia menyekolahkanku? Apa dia merasa telah mendidikku dengan benar?

Elo-Gue, kalimat panggilan yang sering terlontar dari mulut-mulut anak muda. Tapi dia siapa? Dia bajingan kurang ajar yang telah membuat hidupku berantakan. Aku salah, tidak hanya hidupku, melainkan hidup Ibu dan adikku. Jika bukan karena aku masih memiliki rasa hormat terhadap orang yang lebih tua, aku sudah akan memukul dan mencabik-cabik wajahnya yang tanpa dosa.

"Lain kali, elo lakukan dengan benar! Seperti tidak sekolah saja!"

Aku memang tidak sekolah. Aku hanya sekolah sampai seragam putih biru. Kenapa? Karena dia sendiri yang tidak menyekolahkanku. Orang tua macam apa yang tidak mementingkan pendidikan sekolah anaknya, dan kini malah menghinanya seperti ini? Aku sakit hati! Hatiku sakit! Dia seperti sedang berbicara bukan dengan anaknya sendiri.

Terkadang aku bertanya-tanya. Bagaimana bisa Ibu menikahi pria seperti dia? Pria yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diandalkan. Dia hanya membuat hidup kami susah. Dia bekerja, tapi uangnya ia habiskan untuk kepentingan keluarganya sendiri. Tidak untuk aku, Ibuku, maupun adikku. Beruntung adikku bisa masuk Universitas. Itu berkat keberuntungan dan secuil kasih sayang Tuhan yang dia terima. Dia dapat kuliah karena menerima beasiswa. Dia memilih kuliah di luar kota karena sebuah alasan yang dapat aku terima. Walau aku khawatir, aku terpaksa mengizinkan.

"Aku akan kuliah di luar kota. Kalau aku bekerja setamat sma, uang Bapak mau dikemanakan? Ibu dan Kakak bekerja, Bapak tidak akan memberi uang kepada kalian. Setidaknya kalau aku pergi jauh, aku akan meminta uang bulanan kepada Bapak."

Ayah, rasanya aku tidak pantas memanggilnya Ayah. Aku lebih suka menyebutnya si bajingan pengecut. Dia orang yang menjijikkan. Bagaimana bisa seorang pria hidup seperti pengecut? Dia tidak menafkahi ibuku, dia tidak mencurahkan kasih sayangnya terhadapku juga adikku. Dia tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang pria, suami, dan ayah. Dia makhluk yang memiliki jantung namun tidak memiliki hati.

Dua tahun berlalu, si bajingan itu jarang pulang ke rumah. Dia datang seenak jidatnya. Atau dia datang ketika aku memaksanya pulang untuk memberitahukan bahwa adikku membutuhkan bekal. Bajingan itu kini tinggal bersama ibunya yang telah menjanda. Nenekku itu sama sintingnya dengan suami Ibuku. Seharusnya, bila dia seorang ibu yang baik, dia akan menasehati anaknya saat tidak pulang ke rumah istrinya dalam waktu yang lama. Tapi apa yang nenek tua itu lakukan? Dia justru berbahagia dengan kehadiran anak pertamanya di rumah. Dia sangat senang karena uang anaknya akan mengalir deras ke tangan keriputnya. Nenekku itu, dia termasuk dalam daftar orang-orang yang ingin aku akhiri hidupnya.

"Bapak cerai saja dengan Ibu. Itu akan lebih baik daripada Bapak mengurung Ibu namun tidak memberinya makan!"

Sudah berulang kali aku menyuruh orang tuaku bercerai. Namun mereka tidak mengindahkan. Aku kasihan kepada Ibu. Dia bisa mendapatkan pria yang lebih baik nanti, kalau memang dia tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya seorang diri. Terkadang aku pun kesal kepada beliau. Aku kesal kenapa Ibu tidak pernah mengeluhkan nasibnya. Ibu selalu terlihat baik-baik saja. Bahkan beliau selalu semangat bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Aku sakit saat melihat Ibuku yang tidak mempedulikan penderitaannya. Aku ingin membunuh bajingan itu.

"Sabar, Nak! Nanti Bapakmu akan mendapat balasannya sendiri. Yang terpenting sekarang, kita harus  bekerja dengan baik. Tunjukkan pada Bapak bahwa kita baik-baik saja walau dia tidak mempedulikan kita."

Aku dan Ibu berusaha keras mencari uang. Pendidikan sekolahku rendah, aku hanya bisa bekerja membantu ibu menjahit pakaian di rumah. Andai saja aku memiliki ijazah sekolah yang lebih tinggi, aku pasti akan mendapat pekerjaan yang lebih baik. Aku akan bisa membahagiakan Ibu juga adikku. Sayangnya, aku memang ditakdirkan untuk hidup dalam kesialan. Aku hanya mampu bekerja kecil-kecilan. Dan dengan bodohnya terkadang Bapakku menanyakan penghasilanku.

"Kerjaan elo cuma ngumpulin kain tak berguna ini. Kalau tidak ada duitnya, tidak usah kerja!"

Dia goblok atau apa, aku sudah bingung mencari kalimat yang pas. Jelas uangku habis karena aku pakai untuk biaya makan sehari-hari. Untuk membeli pakaian, untuk memberi perabotan. Memangnya dia memberi kita uang? Terkadang untuk bekal adikku pun aku yang penuhi. Dia tak jarang menyuruhku mentransfer uang untuk adik. Dia bilang, dia akan ganti. Tapi itu semua hanya omong kosong. Dia selalu mempertanyakan uang hasil kerja kami. Tapi kami sendiri tidak tahu ia simpan di mana hasil kerjanya. 

"Selamat ulang tahun, Kak. Semoga pengorbanan Kakak selama ini berbuah baik. Jadikan semua ini sebagai pembelajaran dalam perjalanan menuju kedewasaan. Aku yakin, kebahagiaan sedang menunggu Kakak di depan."

Umurku sudah dewasa. Kadang aku berpikir aku pun ingin seperti teman-temanku yang hidup dengan  memiliki pasangan. Namun aku sadar diri. Pekerjaanku saja belum mapan. Aku juga hidup dalam keluarga yang menyebalkan. Siapa yang ingin menjadikan aku pendamping hidupnya? Jika aku membicarakan hal ini, si bajingan itu sering menceramahiku. Dia bilang, aku harus menabung uangku karena dia tidak akan membiayai pernikahanku nanti. Bagaimana bisa aku menabung jika kebutuhan sehari-hari saja aku yang penuhi? Biaya hidup adikku? Kadang aku yang memikulnya. Kalau seperti ini terus, aku yakin aku tidak akan pernah menikah.

Menikah? Aku merasa itu hanya akan menjadi angan-anganku saja. Hey, bahkan aku tidak berani membayangkan bagaimana meriahnya pesta pernikahanku. Ada yang ridho menjadi suamiku kelak, aku sudah sangat bersyukur. Jujur, sebagai seorang anak perempuan, aku ingin merasakan kasih sayang seorang laki-laki. Aku ingin perhatiannya, pengertiannya, nasihatnya. Ya, aku menginginkan hal kecil itu dari ayahku. Bukankah seorang anak perempuan biasanya akan lebih dekat dengan seorang ayah? Mungkin untuk oranglain benar, tapi bagiku tidak berlaku. Bahkan aku tidak ingat kasih sayang Bapak yang mana yang pernah dia berikan untukku. Justru saat ini aku merasa takut. Takut jika aku menikah, aku mendapat suami seperti Bapak. Tidak, Tuhan! Aku akan membunuh diriku sendiri bila itu terjadi.

Aku sangat menyayangi adikku. Dia saudaraku satu-satunya. Aku selalu takut terjadi apa-apa padanya. Meski dia telah beranjak dewasa, bagiku dia tetap adik kecilku yang manja. Dulu, saat dia belum mengerti kepahitan yang aku rasakan, aku sering kesal. Aku seperti tidak memiliki lelaki yang dapat aku banggakan dalam hidupku. Namun perlahan, adikku mulai paham. Ya, dia tahu, dia melihat, kami memiliki seorang ayah yang berbeda dari yang lain. Tapi, adikku tidak sepertiku. Aku selalu nyolot, aku selalu emosi, aku selalu ingin memarahi Bapak. Adikku yang aku kira masih bocah ingusan, ternyata dia yang mengajariku arti kesabaran. Tak segan dia menasehati dan mengingatkanku. Sejahat apa pun Bapak, dia tetap ayah kami. 

Terkadang, aku merasa sudah sangat lelah. Aku ingin mati saja. Aku merasa tidak ada gunanya pula aku hidup. Semua yang aku lakukan seolah percuma. Semua sia-sia saja. Aku merasa telah gagal menjadi seorang anak. Rasanya serba salah. Aku terus hidup pun, hanya akan bertambah dosa. Aku sering mengutuk Bapak, itu sudah menjadi dosa besar. Namun aku sebal. Dia tidak memiliki kesadaran sendiri. Astaga! Aku sungguh tidak percaya hidupku sekonyol ini. Sering aku berpikir bahwa aku memang sial telah menjadi bagian dari keluarga ini. Andai aku dapat memilih, aku tidak menginginkan berada di sini. Di tengah orang-orang tidak waras ini. Aku hanya ingin keluarga yang normal. Aku menginginkan kehidupan normal seperti orang-orang. Hanya itu!

Pernah, aku mendapat kabar bahwa adikku kecelakaan. Aku segera menghubungi nomor Bapak untuk memberitahu, namun tidak aktif. Aku mencoba mencari kontak nomor saudara di sana namun tidak diangkat. Aku mencoba menghubungi nomor yang lain, ada yang menjawab. Namun sial, teleponnya kembali dia matikan. Keluarga Bapakku memang tidak waras semua. Mereka tidak mau tahu keadaan kami. Ini hal penting, dan mereka bersikap kurang ajar kepadaku. Bagaimana kalau kecelakaan parah yang menimpa adikku? Baru jatuh dari motor saja mereka tidak peduli. Bagaimana kalau adikku mati? Mereka mungkin akan berpesta ria.

"Keluarga Bapakmu memang tidak waras!" 
Aku kembali menelpon adikku. Aku menangis menceritakan kejadian menjengkelkan ini. 

"Sudah, Kak! Yang penting Kakak sudah berusaha. Biarkan saja mereka. Mungkin mereka pikir aku menelepon karena ingin meminta uang."

Keluarga Bapakku memang tidak suka jika aku atau adikku menghubungi Bapak. Mereka tidak suka dengan kami yang meminta uang kepada Bapak. Kalau bukan kepada Bapak, kepada siapa lagi kita meminta? Dia berhak memberi kami uang. Itu adalah kewajiban. Tapi mereka tidak memahami. Mereka hanya tahu dan sering mengira bahwa adikku di luar kota sana hanya menghambur-hamburkan uang. Itu juga alasan kenapa dulu aku tidak melanjutkan sekolah.

Setelah kabar kecelakaan adikku, kini giliran Ibu yang jatuh sakit. Tidak tanggung-tanggung, aku pun ikut meriang dan demam. Kami berdua sakit. Kami bahkan tidak sanggup bekerja. Kami pun belum memeriksakan diri ke dokter karena tidak ada biaya. Aku terpekur menangisi kehidupanku. Orang yang menyakitiku bukanlah oranglain, melainkan keluargaku sendiri. Hingga seminggu lamanya aku dan ibu sakit, Bapak tidak pulang sama sekali. Dia tidak bertanya keadaan kami, dia tidak punya hati. Bahkan mungkin dia telah lupa bahwa dia masih memiliki anak dan istri.

"Kakak telepon Bapak saja! Bilang minta uang untuk pergi ke dokter."

"Bapak tidak akan peduli."

Bahkan air mataku sudah mengering. Aku tidak dapat mengungkapkan lagi bagaimana rasanya semua ini. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa atas hidupku. Hatiku lebih dari sekedar patah. Mengingat hidupku yang berliku tidak menentu, aku hanya bisa menangis dalam diamku. Aku tidak tega melihat Ibu. Aku tidak sanggup membiayai pendidikan adikku, bahkan aku tidak dapat menyadarkan Bapakku. Dia sudah keterlaluan. Dia menyiksaku!

Rasa sakit yang aku alami bukan karena penyakit yang sedang menyerang tubuhku. Melainkan karena rasa peduli yang tidak aku terima dari seorang ayah yang membuatku terlahir ke dunia ini. Apa dia tidak takut aku membencinya? Aku rasa tidak. Bahkan dia tidak takut kepada dosa-dosa yang telah dia lakukan. Dia tidak takut kepada Tuhan yang menciptakannya. Aku hanya akan berdoa, semoga bumi menerima jasadnya kelak saat dia terkubur di tanah bumi.

Bapak, dibalik kebencianku, sejujurnya aku mencintaimu. Andai Bapak tidak mematahkan hatiku, mungkin aku tidak akan berpikir bahwa aku tidak menyukaimu.


Senin, 25 April 2016

CUAP-CUAP NOVEL MEMORI 1/2 GIGA

Judul             : Memori ½ Giga
Penulis           : Syarifatul Munawaroh
Penyunying     : Lavira Az-Zahra
Tata Letak      : Lavira Az-Zahra
Desain Sampul : Lavira Az-Zahra
Penerbit         : Pena House, Blora 2015
Hlmn             : 136hlm, 13x19cm
Harga            : 45.000


SINOPSIS;
Cinta berawal dari suara yang Rana rasakan ternyata hanya sampai pada titik status 'adik dan kakak'. Hatinya cenderung memilih ingin bersama dengan seorang cowok yang memutuskan untuk tidak mempercayai cinta setelah mendapat pengkhianatan. Lantas jika kehadiran Rana membuatnya begitu menginginkan seorang Rana, akankah ia percaya bahwa ia telah kembali jatuh cinta?
Cerita biasa ini akan membawa kalian berkenalan dengan seorang malaikat pendiam di luar jam kerja berwujud Rana Angela. Rasa yang ia kira itu cinta ternyata hanya sebatas rasa suka pada suara pemuda pujaanya. Dan cinta sesungguhnya akan ia tujukan pada teman si pujaan.
###

MEMORI SETENGAH GIGA, novel pertama yang berhasil aku selesaikan dan berhasil aku wujudkan dalam bentuk buku. Alhamdulillah
Walau sejujurnya hasilnya masih kurang memuaskan. Mulai dari cerita yang masih banyak typo, eyd belum sempurna, hingga kualitas buku yang kurang bagus (hehe maklum terbit gratis). Tapi, ada teman yang bilang; Sudah punya karya harus bangga dong! Dan ya, hargailah sejelek ataupun sependek apa pun karya kamu!

MEMORI SETENGAH GIGA, proses menulisnya panjang. Bukan hanya karena buntu ide ataupun mitos mengenai writer block, tapi juga karena media yang kurang mendukung. Tidak punya laptop terkadang bikin gemas. Aku harus nunggu sampai punya hape canggih yang bisa dipakai buat nulis. Perjuangan sekali deh. Kurun waktu dua tahun baru mencapai kata ENDING.

MEMORI SETENGAH GIGA, apa yang pertama kalian pikirkan saat membaca ini? Waktu pertama menemukan kalimat ini, aku hanya bergumam 'Wow, bagus nih buat judul novel'. Aku mendengar kalimat menakjubkan itu dari mulut adikku. Saat itu dia baru pulang dari rumah temannya, langsung saja dia curhat. Dia bilang temannya yang punya Band itu lagi bikin lagu. Judulnya memori setengah giga. Ceritanya tentang cewek yang minta balikan lagi sama mantannya, namun ternyata si cowok gak mau karena udah punya pacar baru. Hem, jadilah otakku berputar.
Aku ngubek tulisan-tulisanku yang berupa cerpen. Memori setengah giga berawal dari cerpen yang sudah pernah aku tulis lalu kemudian aku kembangkan. Judul cerpenku waktu itu, 'Give Me a Change' menceritakan seorang playboy yang tiba-tiba jatuh cinta beneran lantas ingin berubah. Aku pikir ceritanya bisa aku kembangkan. Dan jadilah si MEMORI SETENGAH GIGA ini. Bercerita tentang seorang cowok yang baru pertama kali jatuh cinta dan ternyata ia dikhianati cinta pertamanya tersebut. Lantas dia berubah menjadi seorang petualang cinta dengan memiliki banyak pacar. Hingga akhirnya dia bertemu seorang cewek yang bisa membuatnya berpikir hanya karena tersindir oleh kalimat si cewek. Dia kembali membuka hati dan memberanikan diri untuk jatuh cinta lagi. Sebenarnya ceritanya sudah maenstream banget. Ceritanya yang seperti ini sudah banyak, hihi. Namun, aku tulis cerita ini dengan bahasa ringan dan sederhana.

Sampai detik ini aku belum tahu, apa memori setengah giga itu ada lagunya atau tidak. Mungkin aku harus menanyakan langsung kepada 'Band' tersebut. Kebetulan 'Band' tersebut juga memiliki peran dalam terciptanya cerita ini. Memori setengah giga adalah sebuah cerita fiksi namun sedikit aku baur dengan cerita nyata. Dalam memori setengah giga, si cowok seorang anak band. Ada sebagian ceritanya aku tulis karena pengalaman dan kejadian yang aku lihat maupun aku dengar sendiri. Tetanggaku, alias yang punya 'BAND' tersebut waktu itu lagi hangat-hangatnya dibicarakan di kampungku. Terlebih sama abege-abege. Jadilah mereka pun menghadirkan ide di kepalaku untuk cerita yang aku tulis. Mungkin kapan-kapan aku akan menemui mereka dan berbicarakan perihal judul lagu--yang entah ada atau tidak-- tersebut karena aku pakai untuk judul bukuku. Hehe maafkan daku!

Sedikit perkenalan dengan para tokoh Memori Setengah Giga;
Irvan Abraham, si tokoh utama. Seorang gitaris dari sebuah band indie. Dia memulai petualangan cintanya setelah dikhianati cinta pertamanya dulu.
Rana Angela, si tokoh utama cewek. Seorang penyiar radio yang jatuh cinta pada suara si vokalis band indie. Pertemuan dengannya di ruang siar membuat Rana semakin jatuh hati kepada vokalis band tersebut.
Bian Ghibran, si vokalis Aileen Band yang memiliki suara merdu membuat banyak wanita mengaguminya. Siapa sangka, dia pun menyukai Rana.
Inda Jelita, selalu ada gadis cantik yang dapat menarik perhatian banyak cowok. Namun sayang, aksinya kini tidak membuahkan hasil. Cowok yang dia taksir justru menyukai sahabatnya sendiri.

Di sini aku memakai point ov view dari Rana dan Irvan bergantian tiap babnya . Rana yang karakter kalem-kalem gitu memakai bahasa (aku). Irvan yang notabennya anak band memakai bahasa (gue). Jadi kita bisa menyelami pemikiran mereka masing-masing.

Mungkin banyak yang berpikir memori setengah giga itu berkaitan dengan ingatan atau barangkali sekeping memori ponsel atau flashdisk, hihi. Tapi nyatanya maksud memori setengah giga di sini adalah ruang hati. Hati si Irvan yang tidak lagi utuh alias terpecah belah. Dia berharap ada seseorang yang bisa melengkapi hatinya yang telah hancur dan hanya menyisakan serpihan. Seperti dalam dialognya, “Aku hanya butuh seseorang yang mampu melengkapi memori hatiku yang tinggal setengah giga. Terimah kasih Rana.” (hlm 124)

Covernya lumayan unyu-unyu, hihi. Daun yang berguguran layaknya hati yang terombang ambing. Juga warnanya yang jingga seolah menceritakan kisah kelam. Intinya, lumayan. Bersyukur bisa berwujud buku cerita yang aku tulis ini. Semoga ada cerita-cerita lain yang dapat aku tulis dan aku wujudkan dalam bentuk buku lagi.

Beberapa kutipan dalam buku MEMORI SETENGAH GIGA;
- “Bagaimana pun persahabatan jauh lebih berharga dari pada sebuah perasaan yang belum pasti." #Rana
- "Jika ini yang dinamakan orang-orang dengan jatuh cinta, sungguh , aku menyerah! Ini hanya menjadikanku seperti orang tolol.” #Rana
- “Mungkin terlihat konyol. Tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hati kita. Jatuh cinta itu tidak direncanakan. #Bian
- “Gue minta maaf. Andai gue bisa memilih, gue gak akan mungkin jatuh cinta sama cewek yang ditaksir teman gue sendiri.” #Irvan
- “Patah hati akan menyesakkan jika kita tidak bisa mengikhlaskan sebuah kenyataan yang megiris rasa yang kita punya. Kalau saja kita merelakan, sakit itu tidak akan menyergap. #Bian





Minggu, 27 Maret 2016

KERTAS IMPIAN (CERPEN)



Kertas Impian


"Kapan menikah?"

"Kapan menyusul? Mana pasanganmu?"

"Cepat nikah dan punya anak. Lihat! Seru loh ngurus bayi. Berasa ada mainan." 

Seutas senyum beserta tambahan kalimat 'doakan saja' adalah jurus paling mumpuni untuk menjawab celotehan mereka. Rasanya hampir bosan harus selalu memakai jurus yang kelihatannya pasrah seperti itu. Tapi aku mesti bagaimana lagi?

Seringkali pertanyaan yang sebenarnya masih bisa dibilang 'wajar' tersebut menohok pikiranku. Memang usiaku belum seberapa tua. Namun entah kenapa ketika seorang gadis menginjak usia dewasa sedikit, mereka harus dihadapkan dengan masalah pernikahan. Terlebih nyaris semua temanku sudah menikah bahkan sebagian sudah memiliki momongan.  

"Aku bukan tak ingin menikah. Tapi bila Tuhan belum berkehendak, aku bisa apa? Nanti pun waktunya akan tiba." 

Jawabku di suatu waktu ketika salah satu temanku bertanya mengenai  statusku yang masih betah menyendiri. 

"Tapi setidaknya kamu sudah harus memiliki pasangan untuk diajak ke pelaminan." 

Lagi, aku mengandalkan bibirku untuk membalas pernyataannya. 

"Aku sedang berusaha." Jawabku pendek. 

Jujur, memang terkadang rasa iri menggelayut saat aku melihat mereka yang sudah berbahagia dengan seseorang di sampingnya. Bahkan saat melihat mereka; temanku dan suaminya menggendong bayi mungil nan lucu, batinku seolah terenyuh dan berteriak 'Adakah kesempatan untukku berbahagia seperti mereka dengan keluarga kecilnya?' Entahlah. Sampai hari ini aku masih harus menerima kenyataan bahwa Tuhan belum meridhoiku untuk menemukan seorang belahan jiwa. Aku masih harus bekerja keras sendirian. Aku masih harus menghadapi masalah-masalahku seorang diri. Aku masih harus bersabar dalam sebuah penantian yang entah mesti berapa lama lagi aku lalui. 

Jika diingat, yang berusaha mendekatiku tidaklah sedikit. Aku pun selalu berusaha membuka hati untuk menerima kehadiran mereka dalam perjalanan hidupku. Barangkali saja salah satu dari mereka adalah jodohku. Tapi lagi-lagi aku harus menelan kecewa. Aku tak sering melihat keseriusan dari mereka. Rata-rata mereka berjinjit kabur setelah aku ajak berbincang mengenai pernikahan. 

"Kak, mau balon? Lima ribu saja." 

Aku terhenyak dari lamunan saat balon warna-warni terpampang di depan wajah mumetku. Bocah kecil berkisar usia sepuluh tahun sedang menawarkannya padaku.

"Ayolah, Kak! Beli satu saja! Sejak tadi balonku belum ada yang terjual."

Aku menyerengit. Kasihan juga anak ini. Wajah merahnya mengumumkan rasa lelah. Siang hari yang bergejolak seperti ini harus berjualan di taman kota yang sesak dengan hiruk pikuk manusia. Tapi aku tak memerlukan balon. Usia 22 sepertiku sudah terlihat tidak pantas bermain-main dengan benda lonjong itu. 

"Dengan balon ini Kakak bisa mengirim surat ke Tuhan." Celetuknya. 

"Nih, ya!" 

Bocah lelaki itu mengeluarkan buku dari tas selempangnya lalu kemudian menulis pada salah satu halaman buku tersebut. Setelah itu ia menyobeknya lantas melipat kertas yang sudah ternoda aksara itu menjadi kecil. Ia mengikat lipatan kertas yang digenggamnya pada ujung tali salah satu balon di tangannya. 

"Nah, sebentar lagi pasti surat itu sampai ke Tuhan!" 

Bola mataku melayang mengikuti laju balon yang dilepaskan ke udara oleh bocah cilik di hadapanku. Ia berlenggok gemulai membuntuti arah angin yang cukup kencang siang hari ini. Menarik juga, pikirku.

"Bagaimana? Kakak mau beli balonku, kan?" 

Aku memandang wajahnya yang tampak memelas. Baiklah, cara dia merayu pembeli kreatif sekali. Aku pun menyodorkan uang untuk membeli balonnya. Satu saja cukup.

"Rahasia!" Sahutnya saat aku bertanya apa yang ia tulis dalam surat yang diterbangkannya tadi. 

"Coba saja, Kak! Pasti Tuhan akan mengabulkan permintaan Kakak juga! Dah ..."

Aku tersenyum memandang senyum lincahnya setelah mendapat uang dari hasil penjualan balonnya padaku. Terlebih saat dia mengerlingkan matanya mengingatkanku agar tidak lupa untuk membuat permohonan. Bahkan ia memberi selembar kertas dan sebuah pensil secara cuma-cuma. 

Sekali lagi aku menerawang langit mencoba mengawasi balon milik bocah kecil tadi yang entah sudah berlari kemana. Terlihat konyol. Apa benar balon itu akan mengirimkan pesan yang dia tulis pada Tuhan? Bagi anak kecil, hal bodoh semacam itu sangat berarti dan menyenangkan.  Boleh juga aku mencobanya. Meski tak mengirim surat pun Tuhan sudah tahu apa yang kita inginkan. 

Surat untuk si Dia

Wahai kamu seseorang yang nantinya akan menemani kesendirianku, melangkahlah! Temui aku dengan dentuman hati serta pijakan kaki yang tulus. Aku di sini senantiasa bersabar menanti derap langkahmu untuk menjemputku.
Duhai kamu seseorang yang suatu saat akan mengusap air mata bahagia dan sedihku. Jemput aku dengan tangan dan lengan terbukamu. Aku di sini telah siap menunggu pelukmu untuk mengajakku berjalan bersama mendekap tawa bahagia dari sang Esa. 
Karenamu aku rela menunggu di bawah naungan doa selepas sujud malamku. Semoga Tuhan segera mempersatukan kita seusai lelah yang kita jalani dengan penuh haru dan rindu.

Untukmu, calon pendamping hidupku.



Aku terkikik geli di tengah kesendirianku. Jangan tanya padaku untuk siapa aku menulisnya, aku belum tahu namanya. Apa yang aku tulis pada selembar kertas pemberian bocah tadi, semoga saja balon itu membawanya berlabuh ke tempat seharusnya. Semoga Tuhan mendengar dan mengabulkan permohonanku sesegera mungkin. Demi calon Takdirku, aku akan selalu berusaha memperbaiki diri di sela penantian yang ingin segera ku akhiri ini. Semoga ia di sana pun sama. 

Aku memandang langit biru yang berhiaskan kapas-kapas putih bernama awan. Atap bumi sangat luas. Semoga saja hatiku bisa seluas dan semegah langit untuk ikhlas dan bersabar dalam menanti jodoh yang telah Tuhan takdirkan. Biarlah dia, teman, mereka, atau siapa pun yang    mengejek kesendirianku puas menikmati celotehannya. Karena dalam diamku aku tak berhenti mengutarakan doa kepada sang pencipta agar kelak ia memberi yang terbaik untukku.

****
  

Rabu, 23 Maret 2016

LEKAS SEMBUHKAN HATI!




Ditengah senja terhampar
Ku genggam cinta yang luar biasa
Angin pun pasti mendengar
Janji kita ntuk selalu bersama

Mengapa kini kau pergi
Meninggalkan aku
Hancurlah aku

Separuh roh hatiku pergi
Meninggalkan cinta ini
Ini terlalu perih

Ingatkah kita disini
Berjanji menggenggam hati
Here're time Magic Hours

Raga mu tak lagi ada
Tapi tidak dengan cerita kita
Atas nama janji kita
Ku lanjutkan walau kita terpisah

Mengapa kini kau pergi
Meninggalkan aku
Hancurlah aku

Separuh roh hatiku pergi
Meninggalkan cinta ini
Ini terlalu perih

Ingatkah kita disini
Berjanji menggenggam hati
Here're time Magic Hours

Here're time

                                            ***
Saat dia pergi, saat dia lari, saatnya kita menyelami diri untuk menata hati kembali. Ketika kita sendiri, waktunya kita merenungi semua yang telah terjadi. Biarkan detik membawamu merapikan hati yang tidak utuh lagi.

Bagian mana yang tidak kamu pahami dari patah hati? Saat dia enggan menoleh lagi? Saat kamu merasakan sakit yang tidak dapat dipungkiri? Percayalah, itu semua hanya taktik Tuhan untuk memberimu pembelajaran. Semua selalu ada hikmahnya, bukan?

Saat menulis ini aku tersenyum sendiri. Bukan karena telah berhasil melupakan patah hati yang aku alami. Tidak, aku tidak berkata demikian. Bahkan sampai detik ini bayangan orang-orang yang pernah membuatku merasa kehilangan belum enyah. Aku hanya ingin tertawa. Mencibir diri sendiri yang begitu bodohnya. Tidak mau keluar, justru memilih bertahan. Untuk kesekian kalinya aku memilih mempertahankan luka yang aku terima. Aku sadar, aku begitu bodoh.

Detik demi detik aku lalui dengan berat hati. Siang, malam, aku isi dengan kegalauan hati. Ck! Tidak ada gunanya sama sekali. Namun, hari ini aku mendapati sederet kata yang aku yakini inilah obat patah hati. Intropeksi diri! Muhasabah diri!

Jangan bertanya kenapa dia pergi. Tidak usah memohon agar dia kembali. Tengok diri sendiri, betapa banyaknya kekurangan yang kita miliki. Perbaiki diri dan lekas sembuhkan hati! Niscaya Tuhan akan membimbingmu ke tempat orang yang lebih baik daripada dia yang lari.

Biar saja cinta pergi sekali ini
Biar saja nanti pun datang lagi

Selasa, 22 Maret 2016

TAK HANYA SENJA

Tidak hanya senja yang berwarna jingga
Ada pelangi, purnama juga

Senja, salah satu hiasan langit yang Tuhan ciptakan dengan luar biasa mempesona. Senja, waktu di mana keajaiban Tuhan tercipta seluruhnya. Aku memyukainya, bahkan sangat menyukainya. Lembayung yang menggantung di ufuk sore. Jingga yang menjelma kala petang tiba. Tidak ada kata bosan untuk memandanginya berlama-lama. Meski aku tahu, senja tidak selalu menjanjikan keindahan saat kemunculannya tiba. 

Bukan hanya senja yang aku suka. Ada awan yang bergumpal dan menghampar di tengah langit sore yang membentang. Tentu kalian tahu, betapa indahnya jika sore hari begitu cerah. Rasanya semua penat lenyap begitu saja kala mata menerawang menikmatinya.

Catatan kecil ini bukan hanya akan aku coret dengan cerita-cerita tentang senja yang luar biasa. Namun pula gumpalan awan yang sangat menggoda.

Sesungguhnya masih banyak pemandangan semesta lainnya selain kedua lukisan yang sangat aku suka. Bila kalian bersedia untuk mengawasi langit sebentar saja, kalian akan menyadari betapa Tuhan amat luar biasa baik telah memberi kita mata untuk melihat dunia. 

Semoga kita seperti langit semesta, memiliki hati yang begitu lapang dan luas, serta mempunyai banyak keindahaan yang dapat dinikmati oleh semua orang.

Terima kasih telah membaca
Semoga kalian suka

Salam kenal :)