Selasa, 10 Mei 2016

BROKEN (Tentang hati yang patah karena seorang ayah)





Entah aku harus menyebutnya sebagai cobaan atau kutukan. Bagiku, ini adalah sebuah kesialan yang tak kunjung usai. Hidupku tidak selalu baik-baik saja, aku rasa. Selesai masalah ini, timbul lagi masalah yang lain. Semua berputar seperti siklus rantai makanan. Namun tidak berujung menguntungkan. Aku hanya merasa aku memang sial telah dilahirkan ke dunia ini. Penderitaan yang aku alami, rasa sakit yang aku terima, aku tidak tahu harus menyalahkan siapa atas ketidaknormalan yang terjadi. Aku selalu merasa aku tidak seperti yang lain. Mereka selalu tampak senang, mereka selalu terlihat banyak uang. Tapi aku? Aku selalu berusaha menjadi anak baik, aku yang telah bekerja keras demi sesuap nasi, justru berbagai masalah muncul bertubi-tubi. Aku rasa aku memang pantas bila menyebutkan bahwa Tuhan tidak adil kepadaku. Tuhan tidak menyayangiku!

"Elo sekolah gak? Begitu saja tidak becus!"

Tanganku sudah lelah karena sering mengepal namun tidak melayangkan jotosan. Lihat! Siapa yang berbicara seperti itu padaku? Orang yang seharusnya aku banggakan, orang yang seharusnya aku jadikan panutan, kini aku membencinya. Dia tidak sadar, dia benar-benar tidak sadar. Apa dia menyekolahkanku? Apa dia merasa telah mendidikku dengan benar?

Elo-Gue, kalimat panggilan yang sering terlontar dari mulut-mulut anak muda. Tapi dia siapa? Dia bajingan kurang ajar yang telah membuat hidupku berantakan. Aku salah, tidak hanya hidupku, melainkan hidup Ibu dan adikku. Jika bukan karena aku masih memiliki rasa hormat terhadap orang yang lebih tua, aku sudah akan memukul dan mencabik-cabik wajahnya yang tanpa dosa.

"Lain kali, elo lakukan dengan benar! Seperti tidak sekolah saja!"

Aku memang tidak sekolah. Aku hanya sekolah sampai seragam putih biru. Kenapa? Karena dia sendiri yang tidak menyekolahkanku. Orang tua macam apa yang tidak mementingkan pendidikan sekolah anaknya, dan kini malah menghinanya seperti ini? Aku sakit hati! Hatiku sakit! Dia seperti sedang berbicara bukan dengan anaknya sendiri.

Terkadang aku bertanya-tanya. Bagaimana bisa Ibu menikahi pria seperti dia? Pria yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diandalkan. Dia hanya membuat hidup kami susah. Dia bekerja, tapi uangnya ia habiskan untuk kepentingan keluarganya sendiri. Tidak untuk aku, Ibuku, maupun adikku. Beruntung adikku bisa masuk Universitas. Itu berkat keberuntungan dan secuil kasih sayang Tuhan yang dia terima. Dia dapat kuliah karena menerima beasiswa. Dia memilih kuliah di luar kota karena sebuah alasan yang dapat aku terima. Walau aku khawatir, aku terpaksa mengizinkan.

"Aku akan kuliah di luar kota. Kalau aku bekerja setamat sma, uang Bapak mau dikemanakan? Ibu dan Kakak bekerja, Bapak tidak akan memberi uang kepada kalian. Setidaknya kalau aku pergi jauh, aku akan meminta uang bulanan kepada Bapak."

Ayah, rasanya aku tidak pantas memanggilnya Ayah. Aku lebih suka menyebutnya si bajingan pengecut. Dia orang yang menjijikkan. Bagaimana bisa seorang pria hidup seperti pengecut? Dia tidak menafkahi ibuku, dia tidak mencurahkan kasih sayangnya terhadapku juga adikku. Dia tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang pria, suami, dan ayah. Dia makhluk yang memiliki jantung namun tidak memiliki hati.

Dua tahun berlalu, si bajingan itu jarang pulang ke rumah. Dia datang seenak jidatnya. Atau dia datang ketika aku memaksanya pulang untuk memberitahukan bahwa adikku membutuhkan bekal. Bajingan itu kini tinggal bersama ibunya yang telah menjanda. Nenekku itu sama sintingnya dengan suami Ibuku. Seharusnya, bila dia seorang ibu yang baik, dia akan menasehati anaknya saat tidak pulang ke rumah istrinya dalam waktu yang lama. Tapi apa yang nenek tua itu lakukan? Dia justru berbahagia dengan kehadiran anak pertamanya di rumah. Dia sangat senang karena uang anaknya akan mengalir deras ke tangan keriputnya. Nenekku itu, dia termasuk dalam daftar orang-orang yang ingin aku akhiri hidupnya.

"Bapak cerai saja dengan Ibu. Itu akan lebih baik daripada Bapak mengurung Ibu namun tidak memberinya makan!"

Sudah berulang kali aku menyuruh orang tuaku bercerai. Namun mereka tidak mengindahkan. Aku kasihan kepada Ibu. Dia bisa mendapatkan pria yang lebih baik nanti, kalau memang dia tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya seorang diri. Terkadang aku pun kesal kepada beliau. Aku kesal kenapa Ibu tidak pernah mengeluhkan nasibnya. Ibu selalu terlihat baik-baik saja. Bahkan beliau selalu semangat bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Aku sakit saat melihat Ibuku yang tidak mempedulikan penderitaannya. Aku ingin membunuh bajingan itu.

"Sabar, Nak! Nanti Bapakmu akan mendapat balasannya sendiri. Yang terpenting sekarang, kita harus  bekerja dengan baik. Tunjukkan pada Bapak bahwa kita baik-baik saja walau dia tidak mempedulikan kita."

Aku dan Ibu berusaha keras mencari uang. Pendidikan sekolahku rendah, aku hanya bisa bekerja membantu ibu menjahit pakaian di rumah. Andai saja aku memiliki ijazah sekolah yang lebih tinggi, aku pasti akan mendapat pekerjaan yang lebih baik. Aku akan bisa membahagiakan Ibu juga adikku. Sayangnya, aku memang ditakdirkan untuk hidup dalam kesialan. Aku hanya mampu bekerja kecil-kecilan. Dan dengan bodohnya terkadang Bapakku menanyakan penghasilanku.

"Kerjaan elo cuma ngumpulin kain tak berguna ini. Kalau tidak ada duitnya, tidak usah kerja!"

Dia goblok atau apa, aku sudah bingung mencari kalimat yang pas. Jelas uangku habis karena aku pakai untuk biaya makan sehari-hari. Untuk membeli pakaian, untuk memberi perabotan. Memangnya dia memberi kita uang? Terkadang untuk bekal adikku pun aku yang penuhi. Dia tak jarang menyuruhku mentransfer uang untuk adik. Dia bilang, dia akan ganti. Tapi itu semua hanya omong kosong. Dia selalu mempertanyakan uang hasil kerja kami. Tapi kami sendiri tidak tahu ia simpan di mana hasil kerjanya. 

"Selamat ulang tahun, Kak. Semoga pengorbanan Kakak selama ini berbuah baik. Jadikan semua ini sebagai pembelajaran dalam perjalanan menuju kedewasaan. Aku yakin, kebahagiaan sedang menunggu Kakak di depan."

Umurku sudah dewasa. Kadang aku berpikir aku pun ingin seperti teman-temanku yang hidup dengan  memiliki pasangan. Namun aku sadar diri. Pekerjaanku saja belum mapan. Aku juga hidup dalam keluarga yang menyebalkan. Siapa yang ingin menjadikan aku pendamping hidupnya? Jika aku membicarakan hal ini, si bajingan itu sering menceramahiku. Dia bilang, aku harus menabung uangku karena dia tidak akan membiayai pernikahanku nanti. Bagaimana bisa aku menabung jika kebutuhan sehari-hari saja aku yang penuhi? Biaya hidup adikku? Kadang aku yang memikulnya. Kalau seperti ini terus, aku yakin aku tidak akan pernah menikah.

Menikah? Aku merasa itu hanya akan menjadi angan-anganku saja. Hey, bahkan aku tidak berani membayangkan bagaimana meriahnya pesta pernikahanku. Ada yang ridho menjadi suamiku kelak, aku sudah sangat bersyukur. Jujur, sebagai seorang anak perempuan, aku ingin merasakan kasih sayang seorang laki-laki. Aku ingin perhatiannya, pengertiannya, nasihatnya. Ya, aku menginginkan hal kecil itu dari ayahku. Bukankah seorang anak perempuan biasanya akan lebih dekat dengan seorang ayah? Mungkin untuk oranglain benar, tapi bagiku tidak berlaku. Bahkan aku tidak ingat kasih sayang Bapak yang mana yang pernah dia berikan untukku. Justru saat ini aku merasa takut. Takut jika aku menikah, aku mendapat suami seperti Bapak. Tidak, Tuhan! Aku akan membunuh diriku sendiri bila itu terjadi.

Aku sangat menyayangi adikku. Dia saudaraku satu-satunya. Aku selalu takut terjadi apa-apa padanya. Meski dia telah beranjak dewasa, bagiku dia tetap adik kecilku yang manja. Dulu, saat dia belum mengerti kepahitan yang aku rasakan, aku sering kesal. Aku seperti tidak memiliki lelaki yang dapat aku banggakan dalam hidupku. Namun perlahan, adikku mulai paham. Ya, dia tahu, dia melihat, kami memiliki seorang ayah yang berbeda dari yang lain. Tapi, adikku tidak sepertiku. Aku selalu nyolot, aku selalu emosi, aku selalu ingin memarahi Bapak. Adikku yang aku kira masih bocah ingusan, ternyata dia yang mengajariku arti kesabaran. Tak segan dia menasehati dan mengingatkanku. Sejahat apa pun Bapak, dia tetap ayah kami. 

Terkadang, aku merasa sudah sangat lelah. Aku ingin mati saja. Aku merasa tidak ada gunanya pula aku hidup. Semua yang aku lakukan seolah percuma. Semua sia-sia saja. Aku merasa telah gagal menjadi seorang anak. Rasanya serba salah. Aku terus hidup pun, hanya akan bertambah dosa. Aku sering mengutuk Bapak, itu sudah menjadi dosa besar. Namun aku sebal. Dia tidak memiliki kesadaran sendiri. Astaga! Aku sungguh tidak percaya hidupku sekonyol ini. Sering aku berpikir bahwa aku memang sial telah menjadi bagian dari keluarga ini. Andai aku dapat memilih, aku tidak menginginkan berada di sini. Di tengah orang-orang tidak waras ini. Aku hanya ingin keluarga yang normal. Aku menginginkan kehidupan normal seperti orang-orang. Hanya itu!

Pernah, aku mendapat kabar bahwa adikku kecelakaan. Aku segera menghubungi nomor Bapak untuk memberitahu, namun tidak aktif. Aku mencoba mencari kontak nomor saudara di sana namun tidak diangkat. Aku mencoba menghubungi nomor yang lain, ada yang menjawab. Namun sial, teleponnya kembali dia matikan. Keluarga Bapakku memang tidak waras semua. Mereka tidak mau tahu keadaan kami. Ini hal penting, dan mereka bersikap kurang ajar kepadaku. Bagaimana kalau kecelakaan parah yang menimpa adikku? Baru jatuh dari motor saja mereka tidak peduli. Bagaimana kalau adikku mati? Mereka mungkin akan berpesta ria.

"Keluarga Bapakmu memang tidak waras!" 
Aku kembali menelpon adikku. Aku menangis menceritakan kejadian menjengkelkan ini. 

"Sudah, Kak! Yang penting Kakak sudah berusaha. Biarkan saja mereka. Mungkin mereka pikir aku menelepon karena ingin meminta uang."

Keluarga Bapakku memang tidak suka jika aku atau adikku menghubungi Bapak. Mereka tidak suka dengan kami yang meminta uang kepada Bapak. Kalau bukan kepada Bapak, kepada siapa lagi kita meminta? Dia berhak memberi kami uang. Itu adalah kewajiban. Tapi mereka tidak memahami. Mereka hanya tahu dan sering mengira bahwa adikku di luar kota sana hanya menghambur-hamburkan uang. Itu juga alasan kenapa dulu aku tidak melanjutkan sekolah.

Setelah kabar kecelakaan adikku, kini giliran Ibu yang jatuh sakit. Tidak tanggung-tanggung, aku pun ikut meriang dan demam. Kami berdua sakit. Kami bahkan tidak sanggup bekerja. Kami pun belum memeriksakan diri ke dokter karena tidak ada biaya. Aku terpekur menangisi kehidupanku. Orang yang menyakitiku bukanlah oranglain, melainkan keluargaku sendiri. Hingga seminggu lamanya aku dan ibu sakit, Bapak tidak pulang sama sekali. Dia tidak bertanya keadaan kami, dia tidak punya hati. Bahkan mungkin dia telah lupa bahwa dia masih memiliki anak dan istri.

"Kakak telepon Bapak saja! Bilang minta uang untuk pergi ke dokter."

"Bapak tidak akan peduli."

Bahkan air mataku sudah mengering. Aku tidak dapat mengungkapkan lagi bagaimana rasanya semua ini. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa atas hidupku. Hatiku lebih dari sekedar patah. Mengingat hidupku yang berliku tidak menentu, aku hanya bisa menangis dalam diamku. Aku tidak tega melihat Ibu. Aku tidak sanggup membiayai pendidikan adikku, bahkan aku tidak dapat menyadarkan Bapakku. Dia sudah keterlaluan. Dia menyiksaku!

Rasa sakit yang aku alami bukan karena penyakit yang sedang menyerang tubuhku. Melainkan karena rasa peduli yang tidak aku terima dari seorang ayah yang membuatku terlahir ke dunia ini. Apa dia tidak takut aku membencinya? Aku rasa tidak. Bahkan dia tidak takut kepada dosa-dosa yang telah dia lakukan. Dia tidak takut kepada Tuhan yang menciptakannya. Aku hanya akan berdoa, semoga bumi menerima jasadnya kelak saat dia terkubur di tanah bumi.

Bapak, dibalik kebencianku, sejujurnya aku mencintaimu. Andai Bapak tidak mematahkan hatiku, mungkin aku tidak akan berpikir bahwa aku tidak menyukaimu.


1 komentar: