Kamis, 26 Mei 2016

SENJA KEDUA (SENJAKU TAK PERNAH MENIPU)



Kata orang, keindahan senja itu menipu. Bagiku, senja tidak pernah mengelabui. Senja tetap sebuah keelokan semesta yang tidak dapat aku jabarkan bagaimana luar biasa warna jingganya terlukis di langit. Senja tetaplah senja, yang gambarannya menawan, yang pesonanya tak bisa diabaikan.

Aku kembali tersenyum mengamati langit sore. Sudah lama aku tidak memerhatikan senja dengan seksama. Semenjak hari di mana dia pergi membawa separuh hati, aku tidak ingin melihat senja lagi. Aku tidak mau menatap jingga saat lembayung tiba. Saat itu, setiap kali aku memandang langit barat kala petang, rasa sakit menyerang. Aku marah, bagaimana bisa senja membuatku tak berdaya? Namun tidak dengan hari ini, aku merindukannya. Merindukan detik-detik senja memancarkan aura. 

Aku sedang tidak membicarakan orang yang sama. Bukan dia, tapi dia. Dia, yang hadir kala senja menampakkan diri menggiring malam. Bukan dia, yang sudah tak ingin aku ingat sama sekali. Lantas, kenapa saat ini aku seolah menyangkut-pautkan dengan dia yang dulu? Tidak! Aku hanya tidak ingin orang-orang salah paham. Sampai kapan pun, aku tetap menyukai senja. Senja, waktu di mana semua rasa lelahku lenyap di sana. 

Entah sejak kapan aku terpesona. Entah sejak kapan aku mulai tertarik dan penasaran. Senja kembali menawarkan cintanya melalui adam yang berbeda. Aku harap, dia lebih baik, lebih menarik, dan lebih pantas untuk aku agungkan. Secercah harapan dalam hati kecilku hanya sesederhana demikian.

Tidak ada yang salah dari senja. Dia selalu memberiku banyak  harapan. Mungkin terlalu dini bila kini aku menyebutnya sebagai cinta. Namun tidak dapat dipungkuri, aku sungguh tergila-gila. Senja, apa mungkin aku kembali jatuh cinta?

Cinta? Rasanya aku hampir muak mendengarnya. Pasalnya, cinta seakan tak pernah berpihak kepadaku.  Berulang kali jatuh cinta, aku hanya mendapat jatuhnya saja, tanpa cinta. Dengan kata lain, aku seringkali merasakan sakit dalam menggapai cinta itu sendiri. Entahlah, mungkin ada yang salah pada diriku. Terkadang aku takut untuk jatuh cinta lagi. Aku khawatir, ‘cinta’ itu tak akan kudapat lagi. Namun orang bilang, cinta sejati akan tetap datang kepada orang yang masih percaya, sekalipun sering kecewa. Saat ini aku hanya meyakini bahwa cinta tidak akan selalu berakhir menyakitkan. Ada saatnya cinta menumbuhkan kebahagiaan.

Lembayung benderang terang menggambar langit, adalah saat-saat di mana jantungku berdebar dua kali lipat. Detik di mana darahku berdesir cepat. Kala petang menjelang, waktu senja menarik jingga, saat itulah dia muncul dengan kerlingan. Lagi-lagi aku menari di bawah cahaya jingga yang merona. Entah kenapa Tuhan selalu menghadirkan cinta untukku di kala senja. Aku hanya berpikir bahwa Tuhan ingin mengingatkanku bahwa keindahan senja memang nyata. Dia tidak pernah menipu!

"Bang! Bakwannya!"

Sungguh, awalnya aku berpikir ini gila. Orang-orang akan tertawa bila aku mengaku bahwa aku menyukai pria di depanku. Tapi sepertinya, hatiku tidak mau peduli. Tidak ada yang aneh padanya. Bahkan dia memiliki wajah yang rupawan. Aku benar-benar tidak ingin peduli siapa dirinya. Yang aku yakini, dia seorang yang pekerja keras. Bahkan dia tidak malu mendorong gerobak kayu setiap hari di sepanjang jalan raya. Aku mengaguminya, serius! Hingga aku tak mengapa bila seandainya Tuhan menjodohkanku dengannya. Aku akan sangat senang.

Namun, tunggu! Aku selalu terlihat bodoh di depannya. Deretan kata serta kalimat yang sudah aku persiapkan seringkali menguap begitu saja. Aku tidak berani menyapanya lebih dari sebatas pedagang dan pembeli. Aku harus meradang dalam hati setiap kali aku gagal melebur keingintahuanku tentangnya. Seolah debar jantungku mempermainkan diriku sendiri.

“Serius kamu suka sama dia?”

“Kenapa? Ada yang salah?”

“Open your eyes! Kamu beneran suka sama dia? Seorang …”

“Tukang bakwan keliling?”

Aku tersenyum simpul menyaksikan mimik wajah orang di sampingku. Temanku yang beberapa hari ini amat sangat bawel dalam mengomentari kehidupanku. Oh, tepatnya perasaanku. 

Dia benar, aku memang sedang menyukai seseorang. Tapi sepertinya kali ini agak berbeda. Kalau menurut temanku, aku salah melepas anak panah. Namun menurutku tidak ada yang salah. Aku tetap menyukai seorang manusia berspesies cowok. So? Kita tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta. Itu kehendak hati.

“Please, kamu gak mungkin serius naksir sama tukang bakwan, kan?”

Lagi, temanku memasang tampang ngeri. Ekspresi wajahnya seperti baru melihat pocong lewat di depannya. Antara geli, takut, sama jijik. Hahaha, aku terbahak tak peduli. Dia terlalu cerewet. 

“Sepuluh rius! Sudah jangan bawel! Kalau kamu sudah lihat orangnya, pasti kamu juga naksir.”

“Aku? Naksir tukang bakwan? Jatuh harga diriku! Kayak gak ada cowok lain saja.”

Aku menggeleng tak acuh. Bagiku tetap tidak ada yang salah. Aku hanya sedang merasakan anugerah Tuhan melalui perasaan kagumku terhadapnya. Terkadang jatuh cinta memang membutakan segalanya, bukan? Toh pada akhirnya cinta akan kembali kepada kodrat sebenarnya, yaitu rasa. Bukan status ataupun harta.



Cinta,
Ketika hatimu berkata ada yang beda
Perasaan yang tak biasa, yang lebih istimewa
Tak peduli siapa dia
Karena dia yang membuatmu bahagia

Senja di jalan raya
Senjaku yang kedua

2 komentar:

  1. kereenn nih tokoh utamanya bukan CEO 😂😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena yang cakep tukang bakwan itu antimaenstreanantimaenstream😂😂

      Hapus